Jumat, 27 Februari 2009

UTILIZATION NATURAL ZEOLITES FOR INCREASING CROP PRODUCTION IN THE UPLAND

Oleh: Suwardi, and Itsuo Goto (20000

ABSTRACT

Zeolites with unique cation-exchange, molecular sieving, and adsorption make these minerals attractive to agricultural and industrial utilization. Indonesia has more than 50 zeolite deposits and some of them have been exploited as mining materials. Some zeolite application to agricultural lands have been established, including direct application as soil amendment, mixing with chemical and organic fertilizer as slow release agent and as materials of growth media. The most important reason of zeolite application is their capability to capture ammonium ion (NH4+) and availability in abandon amount as natural resources.

These experiment demonstrated the application of zeolites in single and combination with compost and calcite as soil amendment. The results showed that application of zeolites in single application increased the cation-exchange capacity (CEC) and exchangeable bases of soils when they applied to low CEC soils. Zeolites also enhanced the available P2O5 in the soil and the increase was higher when zeolites were combined with chicken-manure compost. The increase of the available P2O5 was possibly caused by indirect effect of the Ca existence in zeolites. Zeolites increased slightly the yield of soybean in Inceptisol in the first and second plantings. Increasing soybean and sorghum production ranged from 10 to 60% were caused by improvement of nitrogen and phosphorus availability in the soil due to the action of zeolites application. Among treatments, combination of zeolites-compost-calcite gave the best result. Improvement the availability of N and P in the soils influenced the N and P concentration in plants. However, zeolites application decreased the micronutrients availability of Mn and Zn. Application of zeolites, therefore should be accompanied by addition of micro nutrients to soils.

DISTRIBUTION AND CHARACTERISTIC OF LAND, THE SAGO PALM (Metroxylon Spp.) HABITAT IN INDONESIA

Oleh: Budi Mulyanto and Suwardi (2000)

ABSTRACT

Sago palm (Metroxylon Spp.) is one of the important and strategic crops of Indonesia. Product of sago palm is not only starch as sources of carbohydrate of food stuff beside rice, corn and cassava, but also for basic material of industries such as paper, plywood, hardboard and also food industries. Habitat of sago palm is mostly in wetland area. results of observation indicate that the sago palm grow in the fresh water marshes land with hydromorphic soils. Geographic position of the fresh water marshes land generally in the fan lowland, the boundary of sloping area to the flat area. In Indonesia cultivation of sago palm is still rare. The sago palm mostly wildly grow in the wetland region of east Sumatera, from Aceh to South Sumatera; West, Central, and South Kalimantan; North Sulawesi, Gorontalo, Makasar, Maluku Archipelago, and Papua.

APPLICATION OF NATURAL ZEOLITE FOR IMPROVING CROP PRODUCTION AND ENVIRONMENTAL PROTECTION

Oleh: Suwardi (2000)

INTRODUCTION

Increasing population in the world need to produce greater amounts of foods and fibers through development of appropriate technologies including improvement of soil fertility and land-use strategies resulting in permanent and sustainable agricultural production. Various efforts have been initiated to solve the problems in food and fiber production and these have met with varying degree of success. Many program have been directed to solve the problem of production through crop improvement, fertilizer management maintenance of soil fertility under conditions of low external inputs to maintain and improve the soil fertility, especially to increase the efficiency of fertilizers, various approaches have been used, including alternative methods of fertilizer application (Mengel et al., 1982; Touchton and Hargrove, 1982), fertilizers technology, such as coating urea granule (Prasad, 1976; Vlek and Craswell, 1979), and improvement of soil pH by liming it concluded that fertilizer alone or even in conjunction with improving crop varieties and pest and disease control, will not preserve productivity if significant soil chemical and physical properties were not improved.

It is well known that among the nutrient elements often with the great effect on crop production, nitrogen (N) is the most important besides phosphorus (P) and potassium (K). Unfortunately, N is not efficient because only 20 to 40% of the applied N is absorbed by rice crop (Vlek and Byners 1986). Fenn and Kissel (1973) reported that under laboratory condition more than 5% of applied N was loss in 100 hours following the surface application of 550 kg N ha-1 as NH4F and (NH4)2 HPO4 (diammonium hydrogen phosphate=DAP). Ammonia volatilization and denitrification are two major mechanisms of lowering efficiency of fertilizer by N loss in the field even when leaching and runoff are eliminated (Keeney and Sahrawat 1986; Dedatta and Buresh, 1989). The N loss through volatilization and denitrification increases when higher rate of N is applied to the field.

The formulation of slow release fertilizer has been developed since the last decades (Hauke 1972). These slow release fertilizers release N over long period of time, which reduce the susceptibility to excessive losses at any given time. Savant, Clemmons, and James (1982) used sulfur, waxes, and cement for coated urea as slow release fertilizer. Savant and James (1985) used resin-coated urea and Kochba ,Gambash, and Avnimelech (1990) used KNO3-coated for the same purposes. Mixing urea with various organic chemical has shown to reduce of ammonia volatilization. By using the above materials, the efficiency of N fertilizers was in increased.

Zeolites with unique cation-exchange properties, molecular sieving and adsorption make these minerals attractive to the agricultural utilization including for slow release fertilizer (Barbarick and Pirela ,1984; Lewis, et al., 1984; Pirela, et al., 1984; Weber, et al., 1983). Among the materials of slow release fertilizer, zeolites were possibly used in large scale because of the their capability to capture ammonium ion (NH4+) and availability in abandon amount as natural resources. Addition of zeolites to N fertilizers possibly reduce the release of N to soil solution so that the leaching and volatilization can be reduced. Natural zeolites may well play an important role in achieving these goals.

Kamis, 26 Februari 2009

PEMANFAATAN MINERAL ZEOLIT DI BIDANG PERTANIAN DAN LINGKUNGAN

Oleh:

Suwardi

Staf Pengajar Jurusan Tanah, Fak. Pertanian, IPB

Jl. Raya Pajajaran Bogor

ABSTRAK

Zeolit merupakan bahan galian tambang yang sudah dikenal oleh masyarakat Indonesia sejak tahun delapan puluhan. Mula-mula zeolit diperkenalkan oleh Pusat Penelitian Teknologi Mineral (PPTM) Bandung meskipun sebenarnya telah ada penelitian sebelum periode tersebut oleh Balai Besar Industri Kimia (BBIK) sebagai bahan untuk penjernih air. Sebelum periode itu, zeolit hanya dikenal sebagai batu tempel berwarna kehijauan untuk hiasan dinding. Sampai saat ini, penggunaan zeolit masih sangat terbatas karena keterbatasan pengetahuan tentang sifat-sifatnya. Penggunaan zeolit didasarkan atas sifat-sifat yang dimilikinya baik sifat mineralogi, kimia, dan fisika. Sifat-sifat tersebut termasuk jenis dan kadar zeolit, struktur mineral, kapasitas tukar kation (KTK), kemampuan menjerap ion amonium, gas amoniak dan air. Oleh karena itu, untuk memanfaatkan zeolit secara optimal perlu memahami sifat-sifat tersebut dan kemudian mengeksploitasinya untuk kegunaan yang spesifik.

Usaha untuk memasyarakatkan zeolit telah dilakukan dengan berbagai cara oleh berbagai fihak. Demonstrasi di lalan petani, mengadakan seminar-seminar, memberikan ceramah, menulis artikel di majalah atau koran, dll merupakan beberapa cara untuk memasyarakatkan zeolit. Pada tahun 1999, para pengusaha zeolit telah membentuk asosiasi zeolit Indonesia (ASZEOTA) yang berkoordinasi dalam hal pemasaran zeolit. Para peneliti dari perguruan tinggi, lembaga riset, industriawan dan pemerhati zeolit juga telah membentuk Ikatan Zeolit Indonesia (IZI). Ikatan tersebut secara periodik melakukan seminar secara pada tingkat nasional dan internasional. Dari penelitian ilmiah di lembaga-lembaga penelitian dan perguruan tinggi, maka terbitlah SK Menteri Pertanian No. 07/Kpts/Mentan/Bimas/XII/1998 tanggat 9 Desember 1998 dan Dirjen Tanaman Pangan & Hortikultura No. PR.130.760.11.1998 tanggal 26 November 1998 yang telah menyetujui zeolit sebagai bahan amelioran.

Potensi zeolit di Indonesia sangat besar karena Indonesia dilalui gugusan gunung berapi. Zeolit terbentuk dari abu volkanik yang telah mengendap jutaan tahun yang silam. Tidak kurang dari 50 lokasi telah diketahui mengandung mineral zeolit yang tersebar di Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya. Deposit zeolit yang telah ditambang baru terkonsentrasi di Sumatera dan Jawa, antara lain di daerah Lampung, Bayah, Cikembar, Nanggung, Nagreg, Cikalong, Cipatujah, dan Malang. Sifat-sifat zeolit dari berbagai deposit sangat bervariasi tergantung dari jenis dan kadar mineral zeolit. Secara umum zeolit dari Lampung, Tasikmalaya dan Malang merupakan deposit yang jumlahnya besar dengan berkualitas tinggi. Diperkirakan produksi zeolit di Indonesia saat ini sebanyak 100.000 ton pertahun dihasilkan oleh sekitar 20 perusahaan. Perusahaan zeolit utama adalah PT. Kurnia, PT. Wonder Zeolite, PT. Minatama Mineral Perdana, PT Zeoprima, PT. Putra Drajad.

Proses pengolahan zeolit terdiri dari (1) penggalian (excavating), (2) penggerusan (crushing), pengeringan (drying), penghalusan (milling), pengayakan (sieving), dan pengepakan (packaging). Umumnya penggalian masih dilakukan secara tradisional dengan memanfaatkan tenaga kerja lokal. Para pengusaha menggunakan Penggerusan dilakukan dengan

Sebagian besar digunakan untuk bidang pertanian dan lingkungan khususnya untuk campuran pupuk dan penjernih air pada kolam/tambak udang dan ikan.

Zeolit dapat dipergunakan untuk berbagai keperluan di bidang industri, pertanian, perikanan, peternakan, perlindungan lingkungan, dll. Untuk proses industri zeolit dapat berfungsi sebagai bahan desikan, senyawa penukar ion, filter dan katalis. Di bidang pertanian zeolit digunakan sebagai bahan amelioran, campuran pupuk, bahan media tumbuh tanaman. Sedangkan untuk bidang lingkungan zeolit dapat digunakan sebagai bahan untuk penjernih air tambak, bahan penjernih limbah industri, dan industri nuklir. Di negara-negara maju seperti Jepang dan Amerika Serikat, zeolit telah banyak digunakan untuk berbagai keperluan industri, bidang konservasi energi, penanggulangan pencemaran air, dan pertanian. Sebagai contoh, Jepang, pada tahun 1990 memproduksi sekitar 150 ribu ton zeolit, separuh di antaranya digunakan di bidang pertanian (Minato, 1994).


[1] Disampaikan pada Seminar Staf Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, IPB tanggal 22 Maret 2000


TEKNOLOGI BUDIDAYA TANAMAN BUAH-BUAHAN DI LAHAN MARGINAL (Disampaikan pada Seminar Jumpa Teknologi Buah, Sayur dan Tanaman Hias di Jakarta/08112000)

Oleh: Suwardi

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alam termasuk buah-buahan. Berbagai jenis buah tropika dapat tumbuh dengan baik dan tersebar di berbagai pelosok daerah di seluruh tanah air. Secara alami tanaman buah-buahan akan tumbuh dengan baik jika buah-buahan tersebut tumbuh pada tempat yang sesuai dengan jenis tanah dan iklim yang diperlukan oleh setiap jenis tanaman. Oleh karena itu pengembangan buah-buahan harus didasarkan atas potensi lahan dan keadaan iklim setempat. Dalam makalah ini juga akan dibahas mengembangkan buah-buahan pada lahan marjinal dengan menggunakan media tumbuh tanaman.

Pertanyaan yang harus dijawab untuk mencari lahan yang potensial untuk pengembangan buah adalah lahan dengan sifat-sifat seperti apa yang sesuai dengan suatu jenis buah? Kemudian iklim yang bagaimana yang cocok untuk suatu jenis buah? Secara awam kita dapat menjawab, carilah daerah buah tertentu yang paling baik di Indonesia. Sebagaimana contoh pisang Lampung, nenas Subang, Apel Malang, dan lain-lain. Lahan dan iklim seperti daerah itulah yang paling cocok untuk buah tersebut. Sebagai contoh tanaman durian ,yang terkenal durian di Jawa Barat adalah daerah Rancamaya. Maka lahan dan iklim seperti Rancamaya adalah yang paling cocok untuk tanaman durian. Namun demikian ada cara lain yang lebih akurat dengan mengevaluasi lahan berdasarkan kebutuhan suatu jenis buah.

Meskipun jenis buah-buahan yang ada di Indonesia sangat banyak sampai sekarang buah Indonesia masih mengalami banyak hambatan untuk memperkenalkan buah asli Indonesia di luar negeri. Kita lebih mengenal jambu Bangkok dan durian Bangkok dari pada jambu klutuk atau durian Rancamaya. Di luar negeri orang lebih mengenal pisang Filipina dan durian Thailand. Oleh karena itu diperlukan upaya sistematis agar buah-buahan di Indonesia dapat berkembang pesat baik dari segi kuantitas maupun kualitas sehingga dapat bersaing di dalam dan luar negeri.

KESIMPULAN

1. Buah-buahan yang beragam di Indonesia merupakan potensi yang sangat besar sehingga

perlu ditingkatkan kualitas dan jumlah produksi melalui berbagai usaha dengan penerapan

teknologi.

2. Pengembangan daerah sentra produksi suatu jenis buah harus memperhatikan kesesuaian

lahan yang dievaluasi berdasarkan kebutuahn tanaman.

3. Kita perlu memanfaatkan tanah-tanah marginal untuk pengembangan buah-buahan yang

bernilai tinggi baik lahan tidak subur maupun lahan sempit di pekarangan.

4. Teknologi penanaman buah-buahan dengan metode hidroponik merupakan alternatif

pengembangan buah yang efisien.

PENGEMBANGAN PERTANIAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) MAMBERAMO, IRIAN JAYA (STUDI KASUS DI DABRA, KECAMATAN MAMBERAMO HULU, KABUPATEN JAYAPURA)

Oleh: Suwardi dan Budi Mulyanto (2000)

ABSTRACT

Irian Jaya is one of Eastern Indonesia province, which needs acceleration for region development. One of potential in that province is Mambaramo valley which has area of 80 thousands meter square. This case study was conducted in Dabra village, Mamberamo Hulu Subdistrict, Jayapura District. Most information were obtained from field observation. Secondary data were collected from many kinds of maps, such as geological map, land use map, topography map, climate, and hydrologycal map. Primary data covered of soil data taken through profile examination and laboratory analysis of soil sample taken in slope transect from the top to Mamberamo River. Mamberamo watershed mostly has a type climate, which has more than 9 wet months. The average temperature is 193-27,3oC. Mamberamo watershed is part of Northern Central Mountain range. The upper of Mamberamo river consists of Edinburg (Taritatu) river in the Eastern and Ruffaer (Tariku) river in the Western. With the consideration of soil, environment, flora, and follows. Region with the altitude of more than 2000 m above sea level, should be used as conservation area due to rich in biodiversity and potential erosion. Agricultural area can be developed in the region with the altitude of less than 1000 above sea levels especially along Mamberamo valley, which still make consideration of specific area biodiversity conservation.

PEMANFAATAN MINERAL ZEOLIT UNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI TANAMAN PERKEBUNAN

Suwardi

Staf Pengajar Jurusan Tanah, Fak. Pertanian, IPB

Jl. Raya Pajajaran Bogor


PENDAHULUAN

Sebagai negara agraria, Indonesia sudah sewajarnya secara konsisten mengembangkan sektor pertanian, termasuk di dalamnya agroindustri. Kegiatan sektor pertanian dimulai dari peningkatan produksi pertanian, peningkatan nilai tambah produk pertanian melalui pengolahan dan pengemasan, dan akhirnya pemasaran produk pertanian melalui mekanisme yang menguntungkan petani. Meskipun di masa lampau sektor pertanian terabaikan, sekarang kita sadar bahwa pertanian merupakan ujung tombak ekonomi Indonesia.

Upaya peningkatan produksi pertanian harus dilakukan secara simultan dengan program ekstensifikasi lahan-lahan pertanian dan program intensifikasi. Kenyataan menunjukan bahwa usaha perluasan areal pertanian di Indonesia hampir selalu berbenturan dengan rendahnya produktifitas lahan. Hal ini disebabkan sifat fisika dan sifat kimia tanah yang digunakan untuk lahan pertanian mempunyai kapasitas tukar kation (KTK), basa-basa, ketersediaan hara, kapasitas menahan air yang rendah, sedangkan kejenuhan aluminium tinggi. Malahan kecepatan program ekstensifikasi sering kalah cepat dengan penyempitan lahan pertanian. Oleh karena itu, program ekstensifikasi harus ditunjang dengan program intensifikasi untuk mempertahankan ataupun meningkatkan produktsi pertanian. Di daerah-daerah yang memiliki lahan terbatas untuk ekstensifikasi seperti halnya pulau Jawa, program intensifikasi merupakan program yang harus dikembangkan.

Intensifikasi lahan pertanian pada beberapa sentra produksi di Indonesia telah mengakibatkan terjadinya degradasi lahan baik terhadap sifat fisika, kimia dan biologi tanah. Kemasaman tanah cenderung naik, aerasi dan drainase memburuk, kelarutan besi dan aluminium meningkat, fiksasi fosfat meningkat serta meningkatnya laju pencucian sehingga mengakibatkan rendahnya respon tanaman terhadap masukan faktor-faktor produksi. Oleh karena itu, perlu dilakukan usaha-usaha perbaikan lahan agar produktifitas tanah meningkat. Hasil penelitian menunjukan bahwa penggunaan pupuk kimia secara terus-menerus selama puluhan tahun telah mengakibatkan menurunnya daya dukung tanah sehingga tanah tersebut cenderung semakin kritis, yang ditandai dengan pemadatan tanah, pH tanah dan basa-basa menurun. Untuk mengantisipasi keadaan tersebut perlu dilakukan perbaikan, terutama terhadap kemampuan tanah dalam menyediakan unsur hara. Program intensifikasi dapat ditempuh antara lain dengan usaha menciptakan kondisi tanah agar lebih sesuai untuk pertumbuhan tanaman. Berbagai cara telah ditempuh antara lain dengan penambahan bahan ameliorasi seperti kompos, kapur, dan lain-lain ke dalam tanah. Pemupukan merupakan alternatif yang umum dilakukan untuk meningkatkan produksi tanaman. Namun demikian efisiensi penggunaan pupuk masih sangat rendah khususnya nitrogen karena mudah hilang melalui pencucian dalam bentuk nitrat, menguap ke udara dalam bentuk gas amoniak, dan berubah ke bentuk lain yang tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman (Vlek dan Byrnes,1986).

Penggunaan mineral zeolit merupakan bahan alternatif baru untuk meningkatkan efisiensi pemupukan nitrogen. Di luar negeri, pemanfaatan zeolit di bidang pertanian telah banyak dilakukan terutama di Jepang dan Amerika Serikat. Lebih dari 150 ribu ton zeolit setiap tahun diproduksi di Jepang (Minato, 1994). Sebagian besar digunakan di bidang pertanian seperti padang golf, padi sawah, media tumbuh tanaman, dan penyerap bau pada proses pengomposan.

PEMANFAATAN ZEOLIT SEBAGAI BAHAN PENYERAP BAU PADA LIMBAH PETERNAKAN, RUMAH POTONG HEWAN, DAN TEMPAT PELELANGAN IKAN (2000)

Suwardi

PENDAHULUAN

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia saat ini menyadarkan kita semua bahwa pertanian merupakan sektor unggulan yang harus memperoleh prioritas utama. Di sektor pertanian, peternakan dan perikanan mempunyai prospek yang sangat baik karena kebutuhan protein hewani meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk maupun meningkat kebutuhan perkapita.

Dampak negatif perkembangan di bidang peternakan dan perikanan adalah dengan timbulnya masalah pencemaran lingkungan baik berupa pencemaran limbah padatan, pencemaran air, dan udara. Sebagai contoh peternakan akan menimbulkan limbah padatan berupa kotoran hewan dan jika terkena air hujan juga dapat menimbulkan pencemaran air tanah. Kotoran hewan juga dapat menimbulkan pencemaran udara yang merugikan masyarakat di sekitar lokasi peternakan. Pencemaran udara berupa bau juga dapat terjadi pada rumah potong hewan maupun tempat pelelangan ikan. Untuk menghilangkan bau atau mengurangi pencemaran tersebut perlu dicari cara-cara yang efektif dan efisien. Cara mengatasi permasalahan perlu diketahui jenis dan sifat bahan pencemar dan bahan yang sesuai untuk mengurangi bahan pencemar tersebut.

Bau tidak sedap yang keluar dari kandang ternak, kandang hewan peliharaan, rumah potong hewan, tempat pelelangan ikan dan lain-lain pada dasarnya merupakan campuran dari berbagai gas seperti: amoniak, metan, sulfida, ethelen dan lain-lainnya. Bau busuk ini sangat mengganggu kesehatan manusia yang terlibat langsung dalam kegiatan peternakan dan perikanan. Disamping itu bau busuk dapat mengganggu kesehatan masyarakat di sekitar pusat kegiatan di atas. Untuk mengatasi permasalahan itu, zeolit merupakan salah satu alternatif yang perlu dipertimbangkan berdasarkan sifat-sifat yang dimilikinya, khususnya kemampuan menyerap gas amoniak. Karena bau busuk yang ditimbulkan oleh kotoran ternak atau ikan yang telah membusuk sebagian besar berupa gas amoniak, maka permasalahan pencemaran air dan udara tersebut dapat diatasi dengan zeolit.

Cara kerja zeolit seperti itu di Jepang banyak dimanfaatkan untuk menghilangkan bau busuk yang keluar dari kotoran binatang piaraan anjing dan kucing (Minato, 1988). Zeolit aktif ditebarkan di dalam kandang-kandang binatang piaraan untuk jangka waktu tertentu. Setelah kemampuannya menyerap bau hilang atau berkurang, zeolit diganti dengan yang baru.

KESIMPULAN

1. Zeolit dapat dimanfaatkan untuk menghilangkan bau busuk yang keluar dari limbah peternakan, rumah potong hewan, dan tempat pelelangan ikan karena zeolit mempunyai kemampuan menyerap gas amoniak sebesar 3,5 g/kg zeolit. Bau busuk yang keluar dari limbah tersebut pada dasarnya adalah gas amoniak.

2. Cara pemberian zeolit adalah dengan menaburkan serbuk zeolit ke lantai kandang ternak, mencampur serbuk zeolit dengan limbah padat, menaburkan butiran zeolit ke saluran limbah, mencelupkan batuan zeolit ke limbah cair, dan menutup permukaan cairan dengan batuan zeolit yang diletakan di atas kawat kasa (air scrubber).

3. Dosis zeolit yang diberikan sekitar 200 g/m2 pada lantai kandang, 200 g/m2 pada saluran limbah, 20% dicampur dengan limbah padat, dan untuk limbah cair disesuaikan dengan kepekatan limbah.

4. Fungsi dari zeolit adalah untuk mengurangi bau yang keluar dari limbah padat/cair, menjernihkan limbah cair, menetralkan limbah cair, menetralkan limbah cair, dan meningkatkan kualitas kompos yang dihasilkan dari limbah padatan.

THE IMPORTANCE OF ORGANIC MATTER AND WATER MANAGEMENT IN SUSTAINING BANJARESE TRADITIONAL LAND MANAGEMENT PETAK, SOUTH KALIMANTAN

Oleh: G. Djajakirana, B. Sumawinata, B. Mulyanto, and Suwardi (2000)

ABSTRACT

The Banjarese Traditional land Management system is considered as an 'adaptive' land management technique to cultivate rice and perennial crops on the potentially acid soils. The success of the system in supporting rice production seem to be related to the organic matter and water management. The study area was focused on Karya Tani village in the swampy area of the south Kalimantan and the measurement and observation were stressed on water and organic matter management. Results of the study showed that water management of leached water from the rice plots and the black water from secondary (Gelam) forest and organic matter amendment in the land preparation process play important role in the success of the Banjarese traditional land management technique. Secondary forest as source of black water that is important in the initial phase of land preparation must be conserved. The reclamation of this forest for new rice plots must consider the environmental carrying capacity of that area.

MICROMORPHOLOGICAL CHARACTERISTICS OF (POTENTIAL) ACID SULPHATE SOILS UNDER THE BANJERESE TRADITIONAL LAND MANAGEMENT (BTLM) SYSTEM

Budi Mulyanto, Basuki Sumawinata, Gunawan Djajakirana, and Suwardi (2000)

ABSTRACT

The relationship of micromorphological characteristic of (potential) acid sulphate soils and under the Banjarese traditional land management (BTLM) system have been studied in Karya Tani Village, Barambai, South Kalimantan. The Karya Tani ditch witch established 25 years ago, so that impacts of the land management could be identified. The BTLM system was a cycle which comprised natural forest, forest and paddy field, climax paddy field, transition process, and abandoned area. Soil sample were collected from every sequence of the BTLM system. The physical, chemical, mineralogical and micromorphological analyses were carried out on selected sample. The results of the study indicated that there were several changes of the soil characteristics that possibly changed the soil classification results. The pyrites (FeS2) was dissolved into iron Fe2+ and SO4 = ions and the Fe2+ were immediately oxidized and hydrolyzed into iron hydro-oxides. In some cases the iron hydro-oxides coated the remaining pyrites, therefore even the forests had been converted into agriculture lands for about 25 years the pyrites were still remain. The minimum tillage in the BTLM was related to the fact that the existing pyrites were coated by iron hydro-oxides. This coating could break up and the acid could be reproduced if these soils were plowed. It seem that the BTLM system is an adaptive land management system in an ecosystem with the (potential) acid sulphate soils.

PENETAPAN KUALITAS MINERAL ZEOLIT DAN PROSPEKNYA DI BIDANG PERTANIAN

Suwardi (1998)

Staf Pengajar Jurusan Tanah, Fak. Pertanian, IPB

Jl. Raya Pajajaran Bogor

Tel. 0251-382107, Fax. 0251-312642, e-mail:soilipb@indo.net.id


PENDAHULUAN

Zeolit merupakan bahan tambang yang sudah banyak dikenal oleh masyarakat. Namun penggunaannya masih sangat terbatas karena keterbatasan pengetahuan masyarakat tentang sifat-sifat zeolit dan bagaimana memanfaatkan sifat-sifat tersebut untuk berbagai penggunaan. Penggunaan zeolit yang didasarkan atas sifat-sifat yang dimilikinya akan memberikan hasil yang optimal. Oleh karena itu, pemahaman sifat-sifat zeolit sangat penting sebagai dasar untuk penggunaan zeolit. Usaha untuk meningkatkan penggunaan zeolit dalam negeri telah dilakukan oleh berbagai fihak dengan berbagai cara di antaranya dengan demonstrasi di lapang, mengadakan seminar-seminar, memberikan ceramah, menulis artikel di majalah atau koran, dll.

Potensi zeolit di Indonesia sangat besar karena Indonesia dilalui gugusan gunung berapi. Zeolit terbentuk dari abu volkanik yang telah mengendap jutaan tahun yang silam. Tidak kurang dari 50 lokasi telah diketahui mengandung mineral zeolit yang tersebar di Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya. Deposit zeolit yang telah ditambang baru terkonsentrasi di Sumatera dan Jawa, antara lain di daerah Lampung, Bayah, Cikembar, Nanggung, Nagreg, Cikalong, dan Cipatujah.

Zeolit dapat dipergunakan untuk berbagai keperluan di bidang industri, pertanian, perikanan, peternakan, perlindungan terhadap lingkungan, dll. Untuk proses industri zeolit dapat berfungsi sebagai absorben air, senyawa penukar ion, filter dan katalis. Dengan banyaknya fungsi zeolit ini maka pendayagunaan dapat lebih ditingkatkan sehingga potensi sumber alam yang kita miliki menjadi lebih bermanfaat. Terbatasnya pengetahuan tentang sifat-sifat zeolit dan informasi tentang kegunaannya, zeolit yang melimpah itu sampai saat ini belum dimanfaatkan secara optimal. Di negara-negara maju seperti Jepang dan Amerika Serikat, zeolit telah banyak digunakan untuk berbagai keperluan industri, bidang konservasi energi, penanggulangan pencemaran air, dan pertanian. Sebagai contoh, Jepang, pada tahun 1990 memproduksi sekitar 150 ribu ton zeolit, separuh di antaranya digunakan di bidang pertanian (Minato, 1994).

Sebagai bahan yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan, spesifikasi zeolit untuk masing-masing keperluan harus diketahui dengan jelas. Standar kualitas minimal yang harus dipenuhi harus ditetapkan. Standar kualitas diperlukan baik oleh produsen maupun konsumen. Standar kualitas ditentukan berdasarkan parameter yang berkaitan dengan kegunaan zeolit. Standar kualitas industri misalnya berbeda dengan standar kualitas untuk pertanian. Untuk keperluan ekspor standar kualitas harus memperhatikan permintaan negara pengimpor.

Diperkirakan jumlah zeolit di Indonesia sebanyak 40.000 ton pertahun diperlukan dibidang industri. Sedangkan di bidang pertanian sekitar 100.000 ton/tahun. Jumlah tersebut masih dapat meningkat apabila dapat dihasilkan zeolit dengan kualitas yang sesuai dengan kebutuhan. Usaha meningkatkan kualitas tidak lepas dari pemilihan bahan baku yang baik, proses pada kondisi terkendali dan ditunjang dengan penerapan standar kualitas sesuai dengan kebutuhan konsumen.

SIFAT MINERALOGI LIAT TANAH BERPOTENSI SULFAT MASAM PADA SISTEM PENGELOLAAN LAHAN ORANG BANJAR (SPLOB) DI KALIMANTAN SELATAN

B. Mulyanto, B. Sumawinata, Suwardi, and G. Djajakirana (1999)

ABSTRACT

Mineralogical characteristic of the (potential) acid sulphate soils were studied. Soil sample from 4 soil profiles were taken from every sequence of the land management system of the Banjarese (SPLOB) in Barambai, South Kalimantan. The result indicated that clay mineralogical composition of the soils underneath the pet layer was kaolinite, mica, mica-smectite and mixed layers. In addition, the soils contained quartz and marcasite. The kaolinit, mica and mica-smectite were related to the sediment materials which are soil materials, mean while the sediment materials were inherited from granite schist, dinamometamorphic granite and tonalite in the hinterland. During the weathering process, the mica was transformed into mica smectite.

Keywords: potential acid sulphate soils, clay mineralogy, Kalimantan.

THE FUTURE TREND OF THE UTILIZATION OF COMPOST IN INDONESIA

Oleh: Suwardi (1999)

ABSTRACT

Agriculture is still the most strategic sector in national economy of Indonesia. One of government policies to push the economy acceleration is through the improvement of agriculture production especially by application of NPK fertilizers. However, since the mid 1997 Indonesia has been facing the serious problem of monetary crisis causing the prices of fertilizers are double than before. The most serious impact of the condition are farmers. They tend to reduce the dosage of fertilizers and consequently the agricultural production are decrease significantly. To improve the lowland and upland crop production, government motivates farmers to use again as much as possible compost to substitute of chemical fertilizers. This policy is also due to environmental problems in relation to the accumulation of waste products in rural and urban areas. The arising awareness of the problems renewed interest in possibilities to improve the role and function of compost as well as the utilization of nutrients in crop production.

Application of compost has been practiced by farmers for a long years ago. In rural areas in rainy season after harvesting rice, the straw is removed and heaped in the corner of the field. The straw is slowly decomposed and was put back in the soil in due course. In the dry season, straw is burnt in situ or is taken home for source of animal food. In lowland area, compost is prepared from animal manure and crop residues and its applied to their field before land preparation. In the hilly area, vegetable growers use chicken and cattle manure for their fields. Now commercial composting plants utilizing residues of organic waste material are build in many places especially in urban areas. In Bogor Botanical Garden for examples, garages of leaves are collected and composted for supporting nursery. In Safari Garden of Indonesia, most animal waste materials are collected and commercially processed become a good quality of compost. Sieving of mature compost is done in many sizes for growing ornamental and horticultural plants. In urban areas, organic materials in garbage collection areas are composted commercially after sorting from plastics, glasses, and metal materials.

The development of composting process is introduced by researchers from universities and research centers. Researches done in Bogor Agricultural University showed the improvement of composting process by application of microbial inoculum, earthworm, and zeolites. Application of Trichoderma viride accelerated the composting of organic residues. The same results was obtained by application of earthworms for composting (vermicomposting) of mixture of organic residue and animal manure. Now, vermicomposting is very popular because besides accelerate the decomposition process, its produces earthworms for fish and ingredient of cosmetic products. Zeolites are also used to improve the quality of compost especially to reduce the odor during composting. Application of 15-20% of powdered zeolites reduce significantly the ammonia volatilization. In 1995 Natural Farming of Japan introduced the application of Effective Microorganisms (EM) that claimed as fertilizer, herbicide, antibiotic, and improve the fermentation of bokashi. However, some researches did not show such effects. As conclusion, the future trend of Indonesian farmers for increasing their crop production is by application of more compost because its reduces fertilizers cost and improves the soil properties.